Minggu, 03 Februari 2013

KISAH SEORANG KAKEK BUTA :

RASMITO, KAKEK BUTA PEMANJAT KELAPA .


SIRA Online -Subulusalam : MESKI buta, ternyata tak membuat Rasmito, 57 tahun, yang tinggal di Desa Cipare-Pare Timur, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, ini putus asa dalam mengarungi kehidupan. Sehari-hari kakek dari tiga cucu ini tetap gigih berusaha demi menyambung hidup, kendati pekerjaan yang dilakoninya penuh risiko, yakni memanjat kelapa dan pohon pinang.
“Ya, saya harus tetap bekerja, kalau tidak bagaimana saya bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga?” tukas Rasmito saat ditemui Serambi di kediamannya, Sabtu (5/1) lalu.
Apa yang terbayang di benak kita saat berusia 57 tahun? Mungkin masa tua yang tenang sambil menimang cucu dan dibahagiakan anak-anak kita secara bergiliran. 

Tapi gambaran itu jadi dari angan maupun apa yang dirasakan Rasmito. Pria tua yang tinggal di desa eks transmigrasi ini justru dalam kondisi tak bisa melihat, setiap minggu harus memanjat pohon kelapa dan pinang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya plus keluarganya. 
Rasmito bersama istrinya Lijah (52), tinggal di sebuah gubuk berukuran 6 x 6 meter yang beberapa waktu lalu hampir saja runtuh akibat tanahnya terancam longsor. Gubuk berlantai tanah merah itu tidak memiliki perabot, kecuali sebuah lemari tempat Rasmito dan istrinya menyimpan sedikit dari pakaian mereka. 
Rumah itu didirikan atas bantuan warga setempat. Kondisinya saat ini sangat memprihatinkan lantaran lapuk dimakan usia. Saat disambangi di kediamannya, kakek tunanetra ini mengenakan baju kaus merah yang mulai kusam, dipadu peci hitam yang telah memudar. Pria kelahiran Jember, Jawa Timur, ini mengaku telah melakoni pekerjaan sebagai pemanjat kelapa dan pinang sejak puluhan tahun, meski ia buta. Rasmito sengaja tidak mengemis di jalan. Ia mengaku malu mengemis, karena akan merendahkan martabatnya. “Memang ada juga yang menyarankan agar saya mangkal di Terminal Subulussalam untuk meminta-minta. Tapi saya malu,” ujarnya. 

Pernah sekali waktu Rasmito duduk di terminal. Tapi bukan untuk mengemis, melainkan menunggu temannya di terminal. “E, tiba-tiba ada yang ngasih uang, tapi saya tolak, karena saya bukan peminta-minta.”
Berasal dari Jawa
Rasmito mengaku sudah 18 tahun bermukim di Cipare-Pare Timur, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam. Kerasnya hidup di Jawa, membuat pria beranak tiga ini mengadu nasib ke Aceh. Sebab, saat di Jawa, kata Rasmito, dia hanya mampu berjualan kayu bakar. 

Setiap hari Rasmito memikul dua gandeng kayu bakar yang dihargai Rp 1.000. Sungguh upah yang tak sebanding dengan jerih payahnya. Padahal, kata Rasmito, upah seadanya itu akan dia gunakan untuk menafkahi istri dan tiga anaknya.

Tahun 1994, Rasmito mengadu nasib ke Aceh karena dorongan putra pertamanya. Di Desa Cipare-Pare yang dulunya permukiman transmigrasi, Rasmito mendapat sebidang tanah. Di atas tanah itulah Rasmito menanam enam pohon kelapa dan 20 pohon pinang. 

Rasmito yang meski tak dapat melihat, tapi bersedia menerima tawaran membabat di kebun warga untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Tapi kini Rasmito sudah tiga tahun tidak lagi menerima upahan membabat rumput di kebun warga, karena kondisi fisiknya yang kian lemah. Untuk kebutuhan sehari-hari, Rasmito hanya mengandalkan pohon kelapa dan pinang di pekarangan rumahnya. 

Rasmito mengaku tak pernah takut memanjat pohon kelapa yang cukup tinggi dan penuh risiko itu. Ia pun bisa mengetahui kelapa tua dan muda saat di pohonnya. Begitu pula dengan pinang. “Kalau kelapa yang tua di bagian ujung dan pinang tua itu paling bawah. Itu saja tandanya. Kemarin saya petik 50 butir, dijual seribu per butir. Jadi, saya dapat 50 ribu rupiah. Untuk bayar listrik 40.000, sisanya buat belanja,” terang Rasmito yang mengaku ingin memiliki usaha yang lebih baik seperti ternak kambing atau usaha lainnya.

Sejumlah tetangga dan masyarakat setempat mengaku salut pada Rasmito yang gigih menapaki hidup meski tak bisa melihat. Banyak pekerjaan orang normal mampu dia lakoni dengan baik. Seperti yang disampaikan Ustaz M Nurdin, pemuka agama di Cipare-Pare Timur. Bahwa Rasmito lihai mengambil rumput untuk pakan ternak (mengarit). Menariknya lagi, saat membabat rumput, Rasmito dapat membedakan antara rumput dengan tanaman. 
Bahkan, lanjut Nurdin, pernah sekali Rasmito menukangi sendiri kandang ternaknya. Warga sempat ragu bahwa hasilnya bakal miring. E, ternyata tidak. Hasilnya sempurna seperti buatan orang normal. 

Apa yang dilakukan Rasmito patut diapresiasi. Kakek nan buta ini sebetulnya bisa saja mengemis, namun ia masih memiliki harga diri dan rasa hormat pada orang lain, sehingga kegiatan itu tidak dia lakoni. 

Di tengah keterbatasan fisik, Rasmito lebih memilih untuk bekerja mandiri, sedaya ia mampu, asalkan halal.  Rasmito adalah contoh pria tua penyandang cacat yang tidak mudah menyerah dan meratapi keadaan. Rasmito adalah teladan. (sion)
Keterangan foto :Kakek Rasmito (57) tunanetra penduduk Desa Cipare-Pare Timur, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam sedang memanjat pohon kelapa di belakang rumahnya untuk dijual sebagai penopang hidup keluarga sehari-hari. Foto dok.sion/relsira)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar