Korupsi Semakin Tak Terkendali, Ibarat Kejahatan Terorganisasi
UNTUK memerangi korupsi yang telah berurat berakar, negeri
ini butuh energi dan konsistensi luar biasa. Sebab, di Republik ini, korupsi
semakin tak terkendali. Ibarat kejahatan terorganisasi, korupsi tak luput dari
perkaderan.
Banyak politikus muda
yang menjadi tersangka kasus penggarongan uang negara, sebagian dari mereka
ialah kader penting partai berkuasa, Partai Demokrat. Sebut saja M Nazaruddin,
Angelina Sondakh, Andi Mallarangeng, hingga Anas Urbaningrum.
Dalam indeks persepsi
korupsi 2012 yang dilansir Transparency International Indonesia (TII) Indonesia
tercecer di peringkat 118 dari 176 negara dengan nilai 32.
Semua itu merupakan
bukti yang tak terbantahkan bahwa korupsi masih amat sulit dijinakkan. Itulah
sebabnya Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengungkap rasa frustasi, jengkel dan geram atas masih dan makin
merajalelanya korupsi di negeri ini.
Dalam dialog Forum
Pasar Global di Singapura, Selasa (23/4), ia mengungkapkan betapa sulitnya
memberangus korupsi di Tanah Air. Di depan forum internasional itu, Yudhoyono
berterus terang bahwa memerangi korupsi tak semudah yang ia bayangkan.. Semula Yudhoyono
berpikir penegak hukum bisa memberantas korupsi dalam rentang 10-15 tahun.
Namun, pikiran itu ibarat jauh panggang dari api. Ternyata sekadar utopia.
Menurut Presiden, Indonesia butuh 20-25 tahun lagi untuk terbebas dari jeratan
korupsi.
Bukan kali ini saja
pula Presiden Yudhoyono mengaku frustrasi dalam memerangi korupsi. Pada
peringatan Hari Antikorupsi dan Hari HAM di Istana Negara, 10 Desember 2012,
Presiden melontarkan hal serupa.
Dunia telah sepakat
memasukkan korupsi dalam <i>extraordinary crime<p>, kejahatan luar
biasa, sehingga perlu kemauan dan usaha luar biasa untuk menghadapinya. Korupsi
termasuk kejahatan paling kejam terhadap kemanusiaan sehingga perlu tindakan
paling garang untuk melawannya.
Karena itu, kita
berharap kata frustasi dalam pernyataan Presiden bukan bermakna harfiah, bahwa
bangsa ini sudah lelah dan kendor bahkan berhenti memberantas korupsi. Bila
kata frustasi sungguh-sungguh bermakna literal, ia akan kontraproduktif dan
berpengaruh buruk bagi mental para penegak hukum. Tidak boleh ada kata
frustasi dalam melawan korupsi. Hanya koruptor dan sekutunya yang senang dengan
keputusasaan bangsa ini melawan korupsi.
Kita berharap
pernyataan Presiden menunjukkan masih ada ruang
kesadaran dalam diri bangsa ini betapa diperlukan kemauan, komitmen,
upaya, dan konsistensi lebih kuat dan lebih total untuk melawan korupsi.(relsira
editorialmiol/int)
Presidenlah yang
semestinya memimpin kesadaran, kemauan, serta komitmen secara konsisten dalam
memberangus korupsi. Sebab esensi perjuangan melawan korupsi ialah pelaksanaan
kata-kata yang diucapkan dalam pidato Presiden tersebut.
Presiden mestinya
lebih sungguh-sungguh memimpin perang melawan korupsi, seperti yang pernah ia
sampaikan beberapa waktu silam. Presiden
bisa memimpin perang melawan korupsi dengan membersihkan perilaku koruptif dari
rumah sendiri, yakni Partai Demokrat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar