SIRA Online :
Pendidikan semestinya tangga menuju kehidupan yang lebih baik. Namun, bagaimana
jika tangga itu saja sulit didekati karena dikelilingi gerbang dan jebakan
kemiskinan?
Inilah yang masih
terjadi di Tanah Air. Kemiskinan bahkan sampai membuat anak bangsa putus asa
dan mengakhiri hidup.
Rabu (10/4) di
Polewali Mandar, Sulawesi Barat, seorang remaja putri meninggal dunia dengan
memendam malu karena tidak bisa meneruskan sekolah ke SMP negeri akibat
ketiadaan biaya. Setelah setahun harapan bersekolah tidak juga terwujud, ia
akhirnya menenggak racun serangga.
Peristiwa itu hanya
berselang sekitar sebulan dari kasus serupa di Lampung Selatan. Seorang siswa
SMA bunuh diri karena belum melunasi uang ujian tengah semester.
Kejadian berulang itu
merupakan bukti pemerataan ekonomi demi mengentaskan rakyat dari kemiskinan
masih jauh panggang dari api. Sampai-sampai demi mendapatkan hak dasar
pendidikan, sebagian rakyat tak kuasa memenuhinya.
Program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) yang dijalankan pemerintah pusat ataupun pendidikan
gratis yang dijanjikan banyak kepala daerah sudah baik. Namun, itu hanya
menyelesaikan sebagian kecil persoalan. Ia belum efektif membantu masyarakat
miskin.
Salah satu sebabnya
ialah komponen biaya pendidikan bukan hanya SPP. Untuk berangkat ke sekolah,
seorang siswa tentu harus merogoh kocek. Belum lagi biaya seragam, sepatu, atau
buku sekolah.
Sejumlah sumbangan
yang diminta sekolah bisa begitu beragam dan kreatif, mulai dari biaya kartu
siswa, biaya piknik, pembangunan tempat ibadah, ruang tunggu, hingga pot
kembang.
Di Polewali Mandar,
beberapa orangtua mengaku harga sepasang seragam bisa mencapai Rp100 ribu.
Meski dikatakan tidak wajib, bagi anak usia sekolah, tidak berseragam, tidak
bersepatu, atau tidak bisa turut serta dalam kegiatan sekolah sudah cukup
membuat mereka minder.
Pada akhirnya biaya
yang harus dikeluarkan siswa bahkan bisa menyaingi biaya pokok pendidikan.
Esensi pendidikan pun terkaburkan oleh segala hal-hal fisik yang belum tentu
meningkatkan kualitas akademis.
Yang jelas, rupa-rupa
biaya itu makin meletakkan si miskin pada posisi terjepit. Pendidikan, yang
mestinya merupakan gerbang menuju kehidupan yang lebih sejahtera, justru bisa
menjadi petaka bagi si miskin.
Hal seperti itu
tentunya tidak dapat diremehkan pemerintah. Kejadian tewasnya anak didik juga
merupakan potret ketimpangan pembangunan di berbagai daerah. Kesenjangan yang
kian menganga tidak boleh hanya dipoles dengan statistik demi mengamankan
citra. Fakta bahwa kemiskinan masih menjadi momok tidak boleh disembunyikan.
Untuk apa anggaran
pendidikan melimpah jika masih ada anak bangsa sulit sekolah? Ungkapan orang
miskin dilarang sekolah masih menjadi kenyataan di negara yang
membangga-banggakan pertumbuhan ekonomi ini.
Saatnya kita semua
jujur. Jujur menerima kenyataan ialah awal terurainya persoalan. Karena itu,
akui saja bahwa ketimpangan ekonomi memang terjadi. Akui juga bahwa kemiskinan
di negeri ini masih membelit dan kerap mengundang tragedi. Dengan pengakuan
yang jujur, solusi akan lebih mudah dicari sehingga tragedi pun bisa segera
diakhiri.(miol/direlsira}