RASMITO, KAKEK BUTA PEMANJAT KELAPA .
SIRA Online -Subulusalam : MESKI buta, ternyata tak membuat Rasmito, 57 tahun, yang tinggal di Desa
Cipare-Pare Timur, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, ini
putus asa dalam mengarungi kehidupan. Sehari-hari kakek dari tiga cucu
ini tetap gigih berusaha demi menyambung hidup, kendati pekerjaan yang
dilakoninya penuh risiko, yakni memanjat kelapa dan pohon pinang.

Apa yang terbayang di benak kita
saat berusia 57 tahun? Mungkin masa tua yang tenang sambil menimang cucu
dan dibahagiakan anak-anak kita secara bergiliran.
Tapi
gambaran itu jadi dari angan maupun apa yang dirasakan Rasmito. Pria tua
yang tinggal di desa eks transmigrasi ini justru dalam kondisi tak bisa
melihat, setiap minggu harus memanjat pohon kelapa dan pinang untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya plus keluarganya.
Rasmito bersama
istrinya Lijah (52), tinggal di sebuah gubuk berukuran 6 x 6 meter yang
beberapa waktu lalu hampir saja runtuh akibat tanahnya terancam longsor.
Gubuk berlantai tanah merah itu tidak memiliki perabot, kecuali sebuah
lemari tempat Rasmito dan istrinya menyimpan sedikit dari pakaian
mereka.
Rumah itu didirikan atas bantuan warga setempat.
Kondisinya saat ini sangat memprihatinkan lantaran lapuk dimakan usia.
Saat disambangi di kediamannya, kakek tunanetra ini mengenakan baju kaus
merah yang mulai kusam, dipadu peci hitam yang telah memudar. Pria
kelahiran Jember, Jawa Timur, ini mengaku telah melakoni pekerjaan
sebagai pemanjat kelapa dan pinang sejak puluhan tahun, meski ia buta.
Rasmito sengaja tidak mengemis di jalan. Ia mengaku malu mengemis,
karena akan merendahkan martabatnya. “Memang ada juga yang menyarankan
agar saya mangkal di Terminal Subulussalam untuk meminta-minta. Tapi
saya malu,” ujarnya.
Pernah sekali waktu Rasmito duduk di
terminal. Tapi bukan untuk mengemis, melainkan menunggu temannya di
terminal. “E, tiba-tiba ada yang ngasih uang, tapi saya tolak, karena
saya bukan peminta-minta.”
Berasal dari Jawa
Rasmito mengaku
sudah 18 tahun bermukim di Cipare-Pare Timur, Kecamatan Sultan Daulat,
Kota Subulussalam. Kerasnya hidup di Jawa, membuat pria beranak tiga ini
mengadu nasib ke Aceh. Sebab, saat di Jawa, kata Rasmito, dia hanya
mampu berjualan kayu bakar.
Setiap hari Rasmito memikul dua
gandeng kayu bakar yang dihargai Rp 1.000. Sungguh upah yang tak
sebanding dengan jerih payahnya. Padahal, kata Rasmito, upah seadanya
itu akan dia gunakan untuk menafkahi istri dan tiga anaknya.
Tahun
1994, Rasmito mengadu nasib ke Aceh karena dorongan putra pertamanya.
Di Desa Cipare-Pare yang dulunya permukiman transmigrasi, Rasmito
mendapat sebidang tanah. Di atas tanah itulah Rasmito menanam enam pohon
kelapa dan 20 pohon pinang.
Rasmito yang meski tak dapat
melihat, tapi bersedia menerima tawaran membabat di kebun warga untuk
menutupi kebutuhan hidupnya. Tapi kini Rasmito sudah tiga tahun tidak
lagi menerima upahan membabat rumput di kebun warga, karena kondisi
fisiknya yang kian lemah. Untuk kebutuhan sehari-hari, Rasmito hanya
mengandalkan pohon kelapa dan pinang di pekarangan rumahnya.
Rasmito
mengaku tak pernah takut memanjat pohon kelapa yang cukup tinggi dan
penuh risiko itu. Ia pun bisa mengetahui kelapa tua dan muda saat di
pohonnya. Begitu pula dengan pinang. “Kalau kelapa yang tua di bagian
ujung dan pinang tua itu paling bawah. Itu saja tandanya. Kemarin saya
petik 50 butir, dijual seribu per butir. Jadi, saya dapat 50 ribu
rupiah. Untuk bayar listrik 40.000, sisanya buat belanja,” terang
Rasmito yang mengaku ingin memiliki usaha yang lebih baik seperti ternak
kambing atau usaha lainnya.
Sejumlah tetangga dan masyarakat
setempat mengaku salut pada Rasmito yang gigih menapaki hidup meski tak
bisa melihat. Banyak pekerjaan orang normal mampu dia lakoni dengan
baik. Seperti yang disampaikan Ustaz M Nurdin, pemuka agama di
Cipare-Pare Timur. Bahwa Rasmito lihai mengambil rumput untuk pakan
ternak (mengarit). Menariknya lagi, saat membabat rumput, Rasmito dapat
membedakan antara rumput dengan tanaman.
Bahkan, lanjut Nurdin,
pernah sekali Rasmito menukangi sendiri kandang ternaknya. Warga sempat
ragu bahwa hasilnya bakal miring. E, ternyata tidak. Hasilnya sempurna
seperti buatan orang normal.
Apa yang dilakukan Rasmito patut
diapresiasi. Kakek nan buta ini sebetulnya bisa saja mengemis, namun ia
masih memiliki harga diri dan rasa hormat pada orang lain, sehingga
kegiatan itu tidak dia lakoni.
Di tengah keterbatasan fisik,
Rasmito lebih memilih untuk bekerja mandiri, sedaya ia mampu, asalkan
halal. Rasmito adalah contoh pria tua penyandang cacat yang tidak mudah
menyerah dan meratapi keadaan. Rasmito adalah teladan. (sion)
Keterangan foto :Kakek Rasmito (57) tunanetra penduduk Desa Cipare-Pare Timur, Kecamatan
Sultan Daulat, Kota Subulussalam sedang memanjat pohon kelapa di
belakang rumahnya untuk dijual sebagai penopang hidup keluarga
sehari-hari. Foto dok.sion/relsira)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar